Senin, 14 April 2014

PERKEMBANGAN PEREKONOMIAN INDONESIA PADA MASA PEMERINTAHAN SOEKARNO SAMPAI ERA REFORMASI


Nama      : Aulia Rahmi (21213508)
                  Kiki Rizky Amelia (24213853)
                  Nurul Janah Syabania (26213729)
                  Selviana Dianasari (28213362)
                  Syifa Fauziah Rahmayanti (28213766)
Kelas       : 1EB20





I.            PENDAHULUAN
Latar Belakang
Setelah berakhirnya pemerintahan belanda dan mengakui secara resmi kemerdekaan Indonesia, selama dekade 1950-an hingga pertengahan tahun 1965 indonesia dilanda gejolak politik di dalam negeri dan beberapa pemberontakan di sejumlah daerah seperti di Sumatra dan Sulawesi. Akibatnya selama pemerintahan orde lama, keadaan perekonomian Indonesia sangat buruk, selain laju pertumbuhan ekonomi yang menurun terus sejak 1958, dari tahun ke tahun defisit saldo neraca pembayaran (BOP) dan defisit anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) terus membesar selain itu selama orde lama, kegiatan produksi di sektor pertanian dan industri manufaktur berada pada tingkat yang sangat rendah karena keterbatasan kapasitas produksi dan infrastruktur pendukung. Baik nonfisik maupun fisik seperti pendanaan dari bank.
Pada masa orde lama terjadi krisis ekonomi yang paling parah dalam sejarah perekonomian Indonesia. Krisis ini terjadi pada masa ekonomi terpimpin yang dipimpin langsung oleh pemerintah dalam hal ini Soekarno terjun langsung dalam pelaksanaan ekonomi. Kebijakan berdikari dan berbagai usaha dalam memajukan perekonomian Indonesia namun kebijakan ini memiliki hambatan yang membuat perekonomian indonesia makin terpuruk.
Selain itu banyaknya uang yang beredar di masyarkat membuat perekonomian pada masa ini makin kacau. Inflasi terjadi, bahkan sampai membuat Indonesia mengalami devaluasi guna menyetabilkan kondisi mata uang yang beredar terlalu banyak. Dengan latar belakang seperti itu penulis ingin membahas lebih lanjut mengenai perekonomian Indonesia pada masa Ekonomi Terpimpin tahun 1950 – 1965.

Rumusan Masalah
   1.      Bagaimana perekonomian Indonesia pada masa Soekarno?
   2.      Bagaimana perekonomian Indonesia pada masa Orde Lama?
   3.      Bagaimana perekonomian Indonesia pada masa Orde Baru?
   4.      Bagaimana perekonomian Indonesia pada masa Era Reformasi?

Tujuan
Dimana dalam tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai penunjang nilai dalam mata kuliah Perekonomian Indonesia. Selain itu tujuan dalam penulisan makalah ini adalah ingin mengetahui bagaimana perkembangan dan kondisi perekonomian Indonesia pada zaman Soekarmo sampai Era Reformasi.




II.            PEMBAHASAN
Perekonomian Indonesia Pada Masa Soekarno
Dalam era demokrasi terpimpin, Presiden soekarno menjalankan sistem Ekonomi Terpimpin. Dalam sistem ekonomi ini, presiden secara langsung terlibat dan mengatur perekonomian. Seluruh kegiatan perekonomian terpusat pada pemerintah pusat. Akibatnya, kegiatan perekonomian di daerah menjadi terganggu dan menurun. Dalam era ekonomi terpimpin idonesia berulang kali mengganti desain ekonominya seiring dengan bergantinya kabinet yang sedang berkuasa.
Seperti negara-negara berkembang lain yang baru telepas dari kekuasaan kolonial, kebijaksanaan-kebijaksanaan ekonomi di indonesia pada awal tahun 1950-an sebagian besar dibentuk oleh saling mempengaruhi masalah-masalah sosial dan ekonomi yang objektif yang menghadapkan negara dan gagasan-gagasan ekonomi dasar dari para perumus kebijaksanaan ekonomi yang utama. Dihadapkan pada tugas berat mendamaikan kembali kebutuhan mendesak untuk merehabilitas ekonomi yang mengalami kehancuran secara luas selama penduduk jepang dan revolusi, dengan permintaan umum yang kuat untuk mengubah ekonomi kolonial menuju ekonomi nasional. Ketika Indonesia menganut ekonomi terpimpin pemerintah menumpuh kebijaksanaan yang berorientasi ke dalam’ ( Inward-loking police). Kebijaksanaan ini dicirikan oleh kebijaksanaan “ Berdikari “ ( berdiri di atas kaki sendiri ), dan kebijaksanaan yang sangat membatasi, dan kemudian menolak sama sekali penanaman modal asing.
Selama kurun waktu ini perdagangan luar negeri banyak di kendalikan oleh pemerintah Indonesia, baik karena pertimbangan jangka pendek tentang neraca pembayaran (dengan membatasi impor untuk menekan devisit transaksi berjalan ) maupun karena pertimbangan non-ekonomi, yaitu pertimbangan nasionalisme ekonomi yang dengan tegas melanjutkan ’pola ekonomi kolonial sebelum perang ‘ (preware kolonial pattern) yang sangat mengandalkan diri pda sektor ekspor komoditi-komoditi primer. Oleh karena ini terdapat aspirasi yang besar di antara para pemimpin nasional Indonesia untuk mendorong industrialisasi sebagai jalan jalan terbaik untuk memperluas landasan ekonomi indonesia yang pada waktu itu tergantung pada sektor pertanian.
Walaupun pemerintah tidak bersabahat dengan negara kapitalis barat namun kebijakan pemerintah yang membawa slogan Berdikari justru tetap mengandalkan bantuan luar negeri, termasuk bantuan negara barat. Kebijakan pemerintah tidak bisa dikatakan sebagai kebijaksanaan berorientasi ke dalam yang murni (pure inward-loking policies). Bantuan luar negeri yang diperoleh digunakan untuk membiayai proyek-proyek subtitusi impor yang direncanakan oleh pemerintah Indonesia. Indonesia menjadi anti negara-negara barat namun berpaling ke negara-negara sosialis lainnya di Eropa Timur dan RCC untuk memperoleh bantuan luar negeri, untuk membeli peralatan perang.
Para perumus kebijaksanaan Indonesia mengambil beberapa langkah untuk sekurangnya menampung permintaan – permintaan mendesak nasionalisme ekonomi. Sesuai dengan hasil perjanjian Indonesia – Belanda yang telah disepakati pada Konferensi Meja Bundar di Deen Hag 1949, kepentingan-kepentingan Ekonomi Belanda terus mendapat jaminan dari Indonesia, menyusul pengakuan kemerdekaan Indonesia. dihadapkan pada situasi seperti ini, Indonesia membuat rumusan kebijaksanaan agar dapat mengambil langkah-langkah penting untuk mengambil bagian-bagian penting ekonomi di bawah pemilikan dan kontrol nasional. Tugas yang dihadapi pemerintah baru pada tahun 1950-an adalah untuk menstabilkan dan mengembangkan perekonomian yang didominasi oleh asing dan memiliki sebagian besar oleh pihak swasta. Pada tahun 1952 diperkirakan bahwa 50% dari semua produk konsumsi impor masih dikuasai 4 perusahaan besar belanda, dan 60 persen ekspor oleh delapan perusahaan ( Van Zaden 2012:296 ). Selain itu, bank-bank swasta sebagian besar berada di tangan tujuh bank asing, tiga diantaranya adalah milik belanda.
Kabinet yang di pimpin Natsir dari Partai Masyumi didedikasikan untuk mengubah situasi ini. Kabinet ini meraih dapuk kekuasaan ketika sesuatu yang disebut boom korea (Korea Boom) tengah kuat-kuatnya berhembus. Perang korea mengakibatkan munculnya permintaan ekspor yang meningkat yang menjadikan sumber pendapatan yang baru untuk pemerintah indonesia. surplus yang diperoleh adalah sepenuhnya merupakan hasil dari pendapatan ekspor yang tinggi, secara langsung melalui bea cukai ekspor dan secara tidak langsung melalui efek pendapatan yang meningkat dari pajak penghasilan dan bea impor. Jadi, surplus yang ada merupakan hasil dari sebuah kejutan luar negeri bukan berasal dari kebijakan fiskal yang telah di formulasikan. Dalam situasi tersebut kabinet sudah bereaksi dengan meliberalkan impor sebagai cara untuk menjaga harga-harga domestik tetap rendah, meningkatkan standar kosumsi, dan mendorong perkembangan perusahaan-perusahaan bumi putera. Pada surplus kali itu Indonesia mampu mendapatkan surplus mencapai 1.7 triliun. Surplus ini tidak bertahan lama. Pada tahun 1952 indonesia kembali mengalami defisit anggaran mencapai 3 triliun.
Untuk mengembangkan kewirausahaan pribumi Indonesia dan meletakkan kegiatan ekonomi penting dibawah kontrol nasional pada tahun 1950 pemerintah memperkenalkan Program benteng yang ditujukan untuk memberikan lisensi impor untuk komoditas komoditas tertentu hanya kepada warga negara Indonesia. program ini menimbulkan korupsi skala besar dan mengacaukan praktik politik secara serius kaena setiap partai mencoba untuk memperoleh hasilnya dan hanya sedikit efektik mendorong pertumbuhan kewirausahaan. Banyak pengusaha indonesia yang menjual lisensinya kepada importir China dan Belada, dan pengusaha Indonesia hanya berpura-pura tampil di muka berbisnis. Kelompok perusahaan tersebut biasa di sebut dengan perusahaan ”Ali Baba “.
Volume ekspor komoditi-komoditi premier Indonesia mengalami pertumbuhan yang lumayan pada awal tahun 1950-an, bahkan melebihi tingkat volume yang telah dicapai pada akhir tahun 1930-an, indonesia hampir tidak berpartisipasi daam ekspansi perdagangan dunia yang telah terjadi selama tahun 1950-an dan 1960-an. Bahkan selama kurun waktu 1953-1966 volume ekspor Indonesia hanya bertumbuh dengan rata-rata satu persen dalam satu tahun. Merosotnya peranan perdagangan luar negeri selama awal tahun 1950-an terutama disebabkan oleh karena peralatan produksi industri-industri ekspor Indonesia telah mengalami banyak kerusakan. Ini merupakan akibat dari usaha presiden Soekarno yang tidak ingin di bantu oleh negara Barat.
Negara baru seperti indonesia menghadapi persoalan besar dalam pemeliharaan infrastruktur, dibutuhkan lebih banyak investasi baru, sementara berambisi besar dalam hal pendidikan, pemeliharaan kesehatan, dan program reformasi kesejahteraan lainnya. Satu-satunya item dalam anggran yang memungkinkan untuk di pangkas adalah pengeluaran Militer. Seperti negara baru merdeka lainnya setelah melalui perjuangan kemerdekaan, pengeluaran di bidang militer meningkat luar biasa, namun suasana yang menjadi tenang kembali pastinya kemungkinan untuk mengurangi pembiyayaan operasi militer.hal ini dilakukan pada saat tahun 1951-1955, kemudian setelah itu terdapat peningkatak kembali. Kebijakan-kebijakan untk menaikkan kembali anggaran militer tersebut tidak membuat palemen dan partai politik yang berkuasa menjadi sangat populer di kalangan militer, dan ketegangan antara mereka dan kelompok mapan politis seringkali dipicu oleh Soekarno.
Dalam pelaksanaan Ekonomi Terpimpin ini perubahan hanya terjadi di kota-kota besar sehingga engakibatkan banyaknya Urbanisasi yang terjadi. Kota-kota menjadi sangat padat sedangkan daerah-daerah pingggiran menjadi sepi. Sistem yang dibuat pemerintah untuk mengatur perdangan luar negeri dibuat pada awal 1950-an dan tarif impor yang tinggi. Dengan adanya kebijakan-kebijakan baru, membuat aktifitas ekspor-ekspor utama berasal dari wilayah pinggiran sepeti sumatera, kalimantan, dan pulau-pulau luar lainnya yang memiliki pendapatan seperti minyak, karet, kopra, timah, tembakau, yang semuanya menjadi di terpasung. Hal yang diakibatkan oleh situasi ini adalah maraknya perdagangan ke pasar gelap. Apalagi jarak dengan singapura yang sangat dekat membuat para pedagang lebih mudah menyelundupkan produk–produk mereka keluar Indonesia dan kembali dengan barang konsumsi impor ilegal. Dengan mejual produk-produk mereka ke luar negeri para pedagang mendapatkan harga barang 20 kali lipat daripada di jual di jakarta.
Walaupun dari sudut pandang politik Soekarno berhasil menjaga indonesia tetap bersatu, “ Demokrasi terpimpin “ dan prinsip-prinsip yang menyertai Ekonomi terpimpin membawa indonesia pada salah satu krisis ekonomi paling dramatis dalam sejarah
.
           
      Perekonomian Pada Masa Orde Lama
      Pada tanggal 17 Agustus 1945 setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Setlah itu, khususnya pada tahun-tahun pertama setelah merdeka, keadaan ekonomi Indonesia sangat buruk; ekonomi nasional boleh dikatakan mengalami stagflasi. Defisit saldo neraca pembayaran dan defisit keuangan pemerintah sangat besar; kegiatan produksi di sektor pertanian dan sektor industri manufaktur praktis terhenti; tingkat inflasi sangat tinggi, hingga mencapai lebih dari 500% menjelang akhir periode orde lama. Semua ini disebabkan oleh berbagai macam faktor, yang penting diantaranya adalah pendudukan Jepang, Perang Dunia II , Perang Revolusi, dan Manajemen Ekonomi Makro yang sangat jelek.
      Dapat dikatakan bahwa Indoneisa pernah mengalami sistem politik yang sangat demokratis, yakni pada periode 1949-1956. Akan tetapi, sejarah Indonesia menunjukan bahwa sistem politik demokrasi tersebut ternyata menyebabkan kehancuran politik dan perekonomian nasional. Akibat terlalu banyaknya partai politik yang ada dan semuanya ingin berkuasa, sering terjadi konflik antarpartai politik. Konflik politik tersebut berkepanjangan sehingga tidak memberi sedikit pun kesempatan untuk membentuk suatu kabinet yang solid yang dapat bertahan hingga pemilihan umum berikutnya. Pada masa politik demokrasi itu, tercatat dalam sejarah bahwa rata-rata umur setiap kabinet hanya sekitar 2 tahun saja. Selama periode 1950-an struktur ekonomi Indonesia masih peninggalan zaman kolonialisasi.
      Sektor formal/modern, seperti pertambangan, distribusi, transportasi, bank, dan pertanian komersi, yang memiliki konstribusi lebis besar daripada sektor informal/tradisional terhadap output nasional atau produk domestik bruto (PDB) didominasi oleh perusahaan-perusahaan asing tersebut relatif lebih padat kapital dibanding kegiatan-kegiatan ekonomi yang didominasi oleh pengusaha pribumi dan beralokasi di kota-kota besar , seperti Jakarta dan Surabaya.
      Keadaan ekonomi di Indonesia, terutama setelah dilakukan nasionalisasi terhadap semua perusahaan asing di tanah air, termasuk perusahaa-perusahaan milik Belanda, menjadi lebih buruk dibanding keadaan ekonomi pada masa penjajahan Belanda, ditambah lagi dengan peningkatan laju inflasi yang sangat tinggi pada dekade 1950-an. Pada masa pemerintahaan Belanda Indonesia memiliki laju pertumbuhan ekonomi yang cukup baik dengan tingkat inflasi yang sangat rendah dan stabil, terutama karena tingkat upah buruh dan komponen-komponen lainnya dari biaya produksi yang juga rendah, tingkat efeisensi yang tinggi di sektor pertanian, dan nilai mata uang yang stabil.
      Selain kondisi politik di dalam negeri yang tidak mendukung, buruknya perekonomian Indonesia pada masa pemerintahan orde lama juga disebabkan oleh keterbatasan akan faktor-faktor produksi, seperti orang-orang dengan tingkat kewirausahaan dan kapabilitas manajemen yang tinggi, tenaga kerja dengan pendidikan/keterampilan yang tinggi, dana (khususnya untuk membangun infrastruktur yang sangat dibutuhkan oleh industri), teknologi, dan kemampuan pemerintah sendiri untuk menyusun rencana dan strategi pembangunan yang baik. Menurut pengamatan Higgins, sejak kabinet pertama dibentuk setelah merdeka, pemerintah Indonesia memberikan prioritas pertama terhadap stabilisasi dan pertumbuhan ekonomi, pembangunan industri, unfikasi, dan rekonstruksi. Akan tetapi, akibat keterbatasan akan faktor-faktor tersebut diatas dan dipersulit lagi oleh kekacauan politik nasional pada masa itu, akhirnya pembangunan atau bahkan rekonstruksi ekonomi Indonesia setelah perang tidak pernah terlaksana dengan baik.



Perekonomian Indonesia Pada Masa Orde Baru
Inflasi pada tahun 1966 mencapai 650%,dan defisit APBN lebih besar daripada seluruh jumlah penerimaannya. Neraca pembayaran dengan luar negeri mengalami defisit yang besar, nilai tukar rupiah tidak stabil” (Gilarso, 1986:221) merupakan gambaran singkat betapa hancurnya perekonomian kala itu yang harus dibangun lagi oleh masa orde baru atau juga bisa dikatakan sebagi titik balik.
Awal masa orde baru menerima beban berat dari buruknya perekonomian orde lama. Tahun 1966-1968 merupakan tahun untuk rehabilitasi ekonomi. Pemerintah orde baru berusaha keras untuk menurunkan inflasi dan menstabilkan harga. Dengan dikendalikannya inflasi, stabilitas politik tercapai ayng berpengaruh terhadap bantuan luar negeri yang mulai terjamin dengan adanya IGGI. Maka sejak tahun 1969, Indonesia dapat memulai membentuk rancangan pembangunan yang disebut Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA). Berikut penjelasan singkat tentang beberapa REPELITA:

REPELITA I (1967-1974)
Mulai berlaku sejak tanggal 1april 1969. Tujuan yang ingin dicapai adalah pertumbuhan ekonomi 5% per tahun dengan sasaran yang diutamakan adalah cukup pangan, cukup sandang, perbaikan prasarana terutama untuk menunjang pertanian. Tentunya akan diikuti oleh adanya perluasan lapangan kerja dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.

REPALITA II (1974-1979)
Target pertumbuhan ekonomi adalah sebesar 7,5% per tahun. Prioritas utamanya adalah sektor pertanian yang merupakan dasar untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri dan merupakan dasar tumbuhnya industri yang mengolah bahan mentah menjadi bahan baku.

REPALITA III (1979-1984)
Prioritas tetaap pada pembangunan ekonomi yang dititikberatkan pada sector pertanian menuju swasembada pangan, serta peningkatan industri yang mengolah bahan baku menjadi bahan jadi.

REPALITA IV (1984-1989)
Adalah peningkatan dari REPELITA III. Peningkatan usaha-usaha untuk memperbaiki kesejahteraan rakyat, mendorong pembagian pendapatan yang lebih adil dan merata, memperluas kesempatan kerja. Priorotasnya untuk melanjutkan usaha memantapkan swasembada pangan dan meningkatkan industri yang dapat menghasilkan mesin-mesin industri sendiri. Jika ditarik kesimpulan maka pembangunan ekonomi menurut REPELITA adalah mengacu pada sektor pertanian menuju swasembada pangan yang diikuti pertumbuhan industri bertahap.



Perekonomian Pada Masa Era Reformasi
Pada masa krisis ekonomi, ditandai dengan tumbangnya pemerintahan Orde Baru kemudian disusul dengan era Reformasi yang dimulai oleh pemerintahan Presiden Habibie. Pada masa ini tidak hanya hal ketatanegaraan yang mengalami perubahan, namun juga kebijakan ekonomi. Sehingga apa yang telah stabil dijalankan selama 32 tahun, terpaksa mengalami perubahan guna menyesuaikan dengan keadaan.
1.      Masa Kepemimpinan B.J. Habibie
Pada awal pemerintahan reformasi, masyarakat umum dan kalangan pengusaha dan investor, termasuk investor asing, menaruh pengharapan besar terhadap kemampuan dan kesungguhan pemerintah untuk membangkitkan kembali perekonomian nasional dan menuntaskan semua permasalahan yang ada di dalam negeri warisan rezim orde baru, seperti korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN); supremasi hukum; hak asasi manusia (HAM); Tragedi Trisakti dan Semanggi I dan II; peranan ABRI di dalam politik; masalah disintegrasi; dan lainnya.
Masa pemerintahan Habibie ditandai dengan dimulainya kerjasama dengan Dana Moneter Internasional untuk membantu dalam proses pemulihan ekonomi. Selain itu, Habibie juga melonggarkan pengawasan terhadap media massa dan kebebasan berekspresi.
Di bidang ekonomi, ia berhasil memotong nilai tukar rupiah terhadap dollar masih berkisar antara Rp 10.000 – Rp 15.000. Namun pada akhir pemerintahannya, terutama setelah pertanggungjawabannya ditolak MPR, nilai tukar rupiah meroket naik pada level Rp 6500 per dolar AS nilai yang tidak akan pernah dicapai lagi di era pemerintahan selanjutnya. Selain itu, ia juga memulai menerapkan independensi Bank Indonesia agar lebih fokus mengurusi perekonomian. Untuk menyelesaikan krisis moneter dan perbaikan ekonomi Indonesia, BJ Habibie melakukan langkah-langkah sebagai berikut :
  • Melakukan restrukturisasi dan rekapitulasi perbankan melalui pembentukan BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional) dan unit Pengelola Aset Negara
  • Melikuidasi beberapa bank yang bermasalah
  • Menaikkan nilai tukar rupiah terhadap dolar hingga di bawah Rp. 10.000,00
  • Membentuk lembaga pemantau dan penyelesaian masalah utang luar negeri
  • Mengimplementasikan reformasi ekonomi yang disyaratkan IMF
  • Mengesahkan UU No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan yang Tidak Sehat
  • Mengesahkan UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Pemerintahan presiden B.J. Habibie yang mengawali masa reformasi belum melakukan manuver-manuver yang cukup tajam dalam bidang ekonomi. Kebijakan-kebijakannya diutamakan untuk mengendalikan stabilitas politik.

2.      Masa Kepemimpinan K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur)
Dalam hal ekonomi, dibandingkan tahun sebelumnya, pada tahun 1999 kondisi perekonomian Indonesia mulai menunjukkan adanya perbaikan. Laju pertumbuhan PDB mulai positif walaupun tidak jauh dari 0% dan pada tahun 2000 proses pemulihan perekonomian Indonesia jauh lebih baik lagi dengan laju pertumbuhan hampir mencapai 5%. Selain pertumbuhan PDB, laju inflasi dan tingkat suku bunga (SBI) juga rendah yang mencerminkan bahwa kondisi moneter di dalam negeri sudah mulai stabil.
Akan tetapi, ketenangan masyarakat setelah terpilihnya Presiden Indonesia keempat tidak berlangsung lama. Presiden mulai menunjukkan sikap dan mengeluarkan ucapan-ucapan kontroversial yang membingungkan pelaku-pelaku bisnis. Presiden cenderung bersikap diktator dan praktek KKN di lingkungannya semakin intensif, bukannya semakin berkurang yang merupakan salah satu tujuan dari gerakan reformasi. Ini berarti bahwa walaupun namanya pemerintahan reformasi, tetapi tetap tidak berbeda denga rezim orde baru. Sikap presiden tersebut juga menimbulkan perseteruan dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang klimaksnya adalah dikelurakannya peringatan resmi kepada Presiden lewat Memorandum I dan II. Dengan dikeluarkannya Memorandum II, Presiden terancam akan diturunkan dari jabatannya jika usulan percepatan Sidang Istomewa MPR jadi dilaksanakan pada bulan Agustus 2001.
Selama pemerintahan reformasi, praktis tidak ada satu pun masalah di dalam negeri yang dapat terselesaikan dengan baik. Berbagai kerusuhan sosial yang bernuansa disintegrasi dan sara terus berlanjut, misalnya pemberontakan Aceh, konflik Maluku, dan pertikaian etnis di Kalimantan Tengah. Belum lagi demonstrasi buruh semakin gencar yang mencerminkan semakin tidak puasnya mereka terhadap kondisi perekonomian di dalam negeri, juga pertikaian elite politik semakin besar.
Selain itu, hubungan pemerintah Indonesia dibawah pimpinan Abdurrahman Wahid dengan IMF juga tidak baik, terutama karena masalah amandemen UU No. 23 tahun 1999 mengenai Bank Indonesia; penerapan otonomi daerah, terutama menyangkut kebebasan daerah untuk pinjam uang dari luar negeri; dan revisi APBN 2001 yang terus tertunda pelaksanaannya. Tidak tuntasnya revisi tersebut mengakibatkan IMF menunda pencairan bantuannya kepada pemerintah Indonesia, padahal roda perekonomian nasional saat ini sangat tergantung pada bantuan IMF. Selain itu, Indonesia terancam dinyatakan bangkrut oleh Paris Club (negara-negara donor) karena sudah kelihatan jelas bahwa Indonesia dengan kondisi perekonomiannya yang semakin buruk dan defisit keuangan pemerintah yang terus membengkak, tidak mungkin mampu membayar kembali utangnya yang sebagian besar akan jatuh tempo tahun 2002 mendatang. Bahkan, Bank Dunia juga sempat mengancam akan menghentikan pinjaman baru jika kesepakatan IMF dengan pemerintah Indonesia macet.
Ketidakstabilan politik dan social yang tidak semakin surut selama pemerintahan Abdurrahman Wahid menaikkan tingkat country risk Indonesia. Ditambah lagi dengan memburuknya hubungan antara pemerintah Indonesia dan IMF. Hal ini membuat pelaku-pelaku bisnis, termasuk investor asing, menjadi enggan melakukan kegiatan bisnis atau menanamkan modalnya di Indonesia. Akibatnya, kondisi perekonomian nasional pada masa pemerintahan reformasi cenderung lebih buruk daripada saat pemerintahan transisi. Bahkan, lembaga pemeringkat internasional Moody’s Investor Service mengkonfirmasikan bertambah buruknya country risk Indonesia. Meskipun beberapa indikator ekonomi makro mengalami perbaikan, namun karena kekhawatiran kondisi politik dan sosial, lembaga rating lainnya (seperti Standard & Poors) menurunkan prospek jangka panjang Indonesia dari stabil ke negatif.
Kalau kondisi seperti ini terus berlangsung, tidak mustahil tahun 2002 ekonomi Indonesia akan mengalami pertumbuhan jauh lebih kecil dari tahun sebelumnya, bahkan bisa kembali negatif. Pemerintah tidak menunjukkan keinginan yang sungguh-sungguh (political will) untuk menyelesaikan krisis ekonomi hingga tuntas dengan prinsip once and for all. Pemerintah cenderung menyederhanakan krisis ekonomi dewasa ini dengan menganggap persoalannya hanya terbatas pada agenda masalah amandemen UU Bank Indonesia, desentralisasi fiskal,  restrukturisasi utang, dan divestasi BCA dan Bank Niaga. Munculnya berbagai kebijakan pemerintah yang controversial dan inkonsistens, termasuk pengenaan bea masuk impor mobil mewah untuk kegiatan KTT G-15 yang hanya 5% (nominalnya 75%) dan pembebasan pajak atas pinjaman luar negeri dan hibah, menunjukkan tidak adanya sense of crisis terhadap kondisi riil perekonomian negara saat ini.
Fenomena makin rumitnya persoalan ekonomi ditunjukkan oleh beberapa indikator ekonomi. Pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) antara 30 Maret 2000 hingga 8 Maret 2001 menunjukkan growth trend yang negatif.  Dalam perkataan lain, selama periode tersebut IHSG merosot hingga lebih dari 300 poin yang disebabkan oleh lebih besarnya kegiatan penjualan daripada kegiatan pembelian dalam perdagangan saham di dalam negeri. Hal ini mencerminkan semakin tidak percayanya pelaku bisnis dan masyarakat terhadap prospek perekonomian Indonesia, paling tidak untuk periode jangka pendek.

III.            KESIMPULAN
Perekonomian Indonesia sejak pemerintahan masa orde lama hingga masa reformasi masih mengalami beberapa gejolak. Perekonomian Indonesia masih jatuh bangun. Hal itu dapat dilihat dari kemiskinan yang masih ada, pengangguran tingkat tinggi dikarenakan jumlah lapangan pekerjaan yang tersedia tidak sebanding dengan jumlah angkatan kerja, maraknya para koruptor karena hukum di negeri ini kurang tegas (Indonesia termasuk dalam 5 terbesar Negara terkorup didunia), masih terjadi kesenjangan ekonomi antara penduduk yang miskin dan yang kaya, nilai rupiah masih sekitar Rp 9.000-Rp 10.000, dan masih memiliki hutang ke luar negeri.

IV.            DAFTAR PUSTAKA
http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2012/04/perekonomian-indonesia-di-era-reformasi/