Nama :
Aulia Rahmi (21213508)
Kiki Rizky Amelia (24213853)
Nurul Janah Syabania (26213729)
Selviana Dianasari (28213362)
Syifa Fauziah
Rahmayanti
(28213766)
Kelas :
1EB20
I.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Setelah berakhirnya
pemerintahan belanda dan mengakui secara resmi kemerdekaan Indonesia, selama dekade
1950-an hingga pertengahan tahun 1965 indonesia dilanda gejolak politik di
dalam negeri dan beberapa pemberontakan di sejumlah daerah seperti di Sumatra dan Sulawesi. Akibatnya
selama pemerintahan orde lama, keadaan perekonomian Indonesia sangat buruk,
selain laju pertumbuhan ekonomi yang menurun terus sejak 1958, dari tahun ke
tahun defisit saldo neraca pembayaran (BOP) dan defisit anggaran pendapatan dan
belanja negara (APBN) terus membesar selain itu selama orde lama, kegiatan
produksi di sektor pertanian dan industri manufaktur berada pada tingkat yang
sangat rendah karena keterbatasan kapasitas produksi dan infrastruktur
pendukung. Baik nonfisik maupun fisik seperti pendanaan dari bank.
Pada masa orde lama
terjadi krisis ekonomi yang paling parah dalam sejarah perekonomian Indonesia. Krisis ini terjadi pada
masa ekonomi terpimpin yang dipimpin langsung oleh pemerintah dalam hal ini Soekarno terjun langsung
dalam pelaksanaan ekonomi. Kebijakan berdikari dan berbagai usaha dalam
memajukan perekonomian Indonesia
namun kebijakan ini memiliki hambatan yang membuat perekonomian indonesia makin
terpuruk.
Selain itu banyaknya
uang yang beredar di masyarkat membuat perekonomian pada masa ini makin kacau.
Inflasi terjadi, bahkan sampai membuat Indonesia
mengalami devaluasi guna menyetabilkan kondisi mata uang yang beredar terlalu
banyak. Dengan latar
belakang seperti itu penulis ingin membahas lebih lanjut mengenai perekonomian
Indonesia pada masa Ekonomi Terpimpin tahun 1950 – 1965.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana
perekonomian Indonesia pada masa Soekarno?
2.
Bagaimana perekonomian
Indonesia pada masa Orde Lama?
3.
Bagaimana perekonomian
Indonesia pada masa Orde Baru?
4. Bagaimana
perekonomian Indonesia pada masa Era Reformasi?
Tujuan
Dimana dalam tujuan penulisan makalah
ini adalah sebagai penunjang nilai dalam mata kuliah Perekonomian Indonesia. Selain itu tujuan dalam penulisan makalah ini adalah
ingin mengetahui bagaimana perkembangan dan kondisi perekonomian Indonesia pada
zaman Soekarmo sampai Era
Reformasi.
II.
PEMBAHASAN
Perekonomian
Indonesia Pada Masa Soekarno
Dalam era demokrasi
terpimpin, Presiden soekarno menjalankan sistem Ekonomi Terpimpin. Dalam sistem
ekonomi ini, presiden secara langsung terlibat dan mengatur perekonomian.
Seluruh kegiatan perekonomian terpusat pada pemerintah pusat. Akibatnya,
kegiatan perekonomian di daerah menjadi terganggu dan menurun. Dalam era
ekonomi terpimpin idonesia berulang kali mengganti desain ekonominya seiring
dengan bergantinya kabinet yang sedang berkuasa.
Seperti negara-negara
berkembang lain yang baru telepas dari kekuasaan kolonial,
kebijaksanaan-kebijaksanaan ekonomi di indonesia pada awal tahun 1950-an
sebagian besar dibentuk oleh saling mempengaruhi masalah-masalah sosial dan
ekonomi yang objektif yang menghadapkan negara dan gagasan-gagasan ekonomi
dasar dari para perumus kebijaksanaan ekonomi yang utama. Dihadapkan pada tugas
berat mendamaikan kembali kebutuhan mendesak untuk merehabilitas ekonomi yang
mengalami kehancuran secara luas selama penduduk jepang dan revolusi, dengan
permintaan umum yang kuat untuk mengubah ekonomi kolonial menuju ekonomi nasional.
Ketika Indonesia menganut ekonomi terpimpin pemerintah menumpuh kebijaksanaan
yang berorientasi ke dalam’ ( Inward-loking police). Kebijaksanaan ini
dicirikan oleh kebijaksanaan “ Berdikari “ ( berdiri di atas kaki sendiri ),
dan kebijaksanaan yang sangat membatasi, dan kemudian menolak sama sekali
penanaman modal asing.
Selama kurun waktu ini
perdagangan luar negeri banyak di kendalikan oleh pemerintah Indonesia, baik
karena pertimbangan jangka pendek tentang neraca pembayaran (dengan membatasi
impor untuk menekan devisit transaksi berjalan ) maupun karena pertimbangan
non-ekonomi, yaitu pertimbangan nasionalisme ekonomi yang dengan tegas
melanjutkan ’pola ekonomi kolonial sebelum perang ‘ (preware kolonial pattern)
yang sangat mengandalkan diri pda sektor ekspor komoditi-komoditi primer. Oleh
karena ini terdapat aspirasi yang besar di antara para pemimpin nasional
Indonesia untuk mendorong industrialisasi sebagai jalan jalan terbaik untuk
memperluas landasan ekonomi indonesia yang pada waktu itu tergantung pada
sektor pertanian.
Walaupun pemerintah
tidak bersabahat dengan negara kapitalis barat namun kebijakan pemerintah yang
membawa slogan Berdikari justru tetap mengandalkan bantuan luar negeri,
termasuk bantuan negara barat. Kebijakan pemerintah tidak bisa dikatakan
sebagai kebijaksanaan berorientasi ke dalam yang murni (pure inward-loking
policies). Bantuan luar negeri yang diperoleh digunakan untuk membiayai
proyek-proyek subtitusi impor yang direncanakan oleh pemerintah Indonesia.
Indonesia menjadi anti negara-negara barat namun berpaling ke negara-negara
sosialis lainnya di Eropa Timur dan RCC untuk memperoleh bantuan luar negeri, untuk
membeli peralatan perang.
Para perumus
kebijaksanaan Indonesia mengambil beberapa langkah untuk sekurangnya menampung
permintaan – permintaan mendesak nasionalisme ekonomi. Sesuai dengan hasil
perjanjian Indonesia – Belanda yang telah disepakati pada Konferensi Meja
Bundar di Deen Hag 1949, kepentingan-kepentingan Ekonomi Belanda terus mendapat
jaminan dari Indonesia, menyusul pengakuan kemerdekaan Indonesia. dihadapkan
pada situasi seperti ini, Indonesia membuat rumusan kebijaksanaan agar dapat
mengambil langkah-langkah penting untuk mengambil bagian-bagian penting ekonomi
di bawah pemilikan dan kontrol nasional. Tugas yang dihadapi pemerintah baru
pada tahun 1950-an adalah untuk menstabilkan dan mengembangkan perekonomian
yang didominasi oleh asing dan memiliki sebagian besar oleh pihak swasta. Pada
tahun 1952 diperkirakan bahwa 50% dari semua produk konsumsi impor masih
dikuasai 4 perusahaan besar belanda, dan 60 persen ekspor oleh delapan
perusahaan ( Van Zaden 2012:296 ). Selain itu, bank-bank swasta sebagian besar
berada di tangan tujuh bank asing, tiga diantaranya adalah milik belanda.
Kabinet yang di pimpin
Natsir dari Partai Masyumi didedikasikan untuk mengubah situasi ini. Kabinet
ini meraih dapuk kekuasaan ketika sesuatu yang disebut boom korea (Korea Boom)
tengah kuat-kuatnya berhembus. Perang korea mengakibatkan munculnya permintaan
ekspor yang meningkat yang menjadikan sumber pendapatan yang baru untuk
pemerintah indonesia. surplus yang diperoleh adalah sepenuhnya merupakan hasil
dari pendapatan ekspor yang tinggi, secara langsung melalui bea cukai ekspor
dan secara tidak langsung melalui efek pendapatan yang meningkat dari pajak
penghasilan dan bea impor. Jadi, surplus yang ada merupakan hasil dari sebuah
kejutan luar negeri bukan berasal dari kebijakan fiskal yang telah di
formulasikan. Dalam situasi tersebut kabinet sudah bereaksi dengan meliberalkan
impor sebagai cara untuk menjaga harga-harga domestik tetap rendah,
meningkatkan standar kosumsi, dan mendorong perkembangan perusahaan-perusahaan
bumi putera. Pada surplus kali itu Indonesia mampu mendapatkan surplus mencapai
1.7 triliun. Surplus ini tidak bertahan lama. Pada tahun 1952 indonesia kembali
mengalami defisit anggaran mencapai 3 triliun.
Untuk mengembangkan
kewirausahaan pribumi Indonesia dan meletakkan kegiatan ekonomi penting dibawah
kontrol nasional pada tahun 1950 pemerintah memperkenalkan Program benteng yang
ditujukan untuk memberikan lisensi impor untuk komoditas komoditas tertentu
hanya kepada warga negara Indonesia. program ini menimbulkan korupsi skala
besar dan mengacaukan praktik politik secara serius kaena setiap partai mencoba
untuk memperoleh hasilnya dan hanya sedikit efektik mendorong pertumbuhan
kewirausahaan. Banyak pengusaha indonesia yang menjual lisensinya kepada
importir China dan Belada, dan pengusaha Indonesia hanya berpura-pura tampil di
muka berbisnis. Kelompok perusahaan tersebut biasa di sebut dengan perusahaan
”Ali Baba “.
Volume ekspor
komoditi-komoditi premier Indonesia mengalami pertumbuhan yang lumayan pada
awal tahun 1950-an, bahkan melebihi tingkat volume yang telah dicapai pada
akhir tahun 1930-an, indonesia hampir tidak berpartisipasi daam ekspansi
perdagangan dunia yang telah terjadi selama tahun 1950-an dan 1960-an. Bahkan
selama kurun waktu 1953-1966 volume ekspor Indonesia hanya bertumbuh dengan
rata-rata satu persen dalam satu tahun. Merosotnya peranan perdagangan luar
negeri selama awal tahun 1950-an terutama disebabkan oleh karena peralatan
produksi industri-industri ekspor Indonesia telah mengalami banyak kerusakan.
Ini merupakan akibat dari usaha presiden Soekarno yang tidak ingin di bantu
oleh negara Barat.
Negara baru seperti
indonesia menghadapi persoalan besar dalam pemeliharaan infrastruktur,
dibutuhkan lebih banyak investasi baru, sementara berambisi besar dalam hal
pendidikan, pemeliharaan kesehatan, dan program reformasi kesejahteraan
lainnya. Satu-satunya item dalam anggran yang memungkinkan untuk di pangkas
adalah pengeluaran Militer. Seperti negara baru merdeka lainnya setelah melalui
perjuangan kemerdekaan, pengeluaran di bidang militer meningkat luar biasa,
namun suasana yang menjadi tenang kembali pastinya kemungkinan untuk mengurangi
pembiyayaan operasi militer.hal ini dilakukan pada saat tahun 1951-1955,
kemudian setelah itu terdapat peningkatak kembali. Kebijakan-kebijakan untk
menaikkan kembali anggaran militer tersebut tidak membuat palemen dan partai
politik yang berkuasa menjadi sangat populer di kalangan militer, dan
ketegangan antara mereka dan kelompok mapan politis seringkali dipicu oleh
Soekarno.
Dalam pelaksanaan Ekonomi Terpimpin ini perubahan hanya terjadi di kota-kota besar sehingga engakibatkan banyaknya Urbanisasi yang terjadi. Kota-kota menjadi sangat padat sedangkan daerah-daerah pingggiran menjadi sepi. Sistem yang dibuat pemerintah untuk mengatur perdangan luar negeri dibuat pada awal 1950-an dan tarif impor yang tinggi. Dengan adanya kebijakan-kebijakan baru, membuat aktifitas ekspor-ekspor utama berasal dari wilayah pinggiran sepeti sumatera, kalimantan, dan pulau-pulau luar lainnya yang memiliki pendapatan seperti minyak, karet, kopra, timah, tembakau, yang semuanya menjadi di terpasung. Hal yang diakibatkan oleh situasi ini adalah maraknya perdagangan ke pasar gelap. Apalagi jarak dengan singapura yang sangat dekat membuat para pedagang lebih mudah menyelundupkan produk–produk mereka keluar Indonesia dan kembali dengan barang konsumsi impor ilegal. Dengan mejual produk-produk mereka ke luar negeri para pedagang mendapatkan harga barang 20 kali lipat daripada di jual di jakarta.
Walaupun dari sudut pandang politik Soekarno berhasil menjaga indonesia tetap bersatu, “ Demokrasi terpimpin “ dan prinsip-prinsip yang menyertai Ekonomi terpimpin membawa indonesia pada salah satu krisis ekonomi paling dramatis dalam sejarah.
Dalam pelaksanaan Ekonomi Terpimpin ini perubahan hanya terjadi di kota-kota besar sehingga engakibatkan banyaknya Urbanisasi yang terjadi. Kota-kota menjadi sangat padat sedangkan daerah-daerah pingggiran menjadi sepi. Sistem yang dibuat pemerintah untuk mengatur perdangan luar negeri dibuat pada awal 1950-an dan tarif impor yang tinggi. Dengan adanya kebijakan-kebijakan baru, membuat aktifitas ekspor-ekspor utama berasal dari wilayah pinggiran sepeti sumatera, kalimantan, dan pulau-pulau luar lainnya yang memiliki pendapatan seperti minyak, karet, kopra, timah, tembakau, yang semuanya menjadi di terpasung. Hal yang diakibatkan oleh situasi ini adalah maraknya perdagangan ke pasar gelap. Apalagi jarak dengan singapura yang sangat dekat membuat para pedagang lebih mudah menyelundupkan produk–produk mereka keluar Indonesia dan kembali dengan barang konsumsi impor ilegal. Dengan mejual produk-produk mereka ke luar negeri para pedagang mendapatkan harga barang 20 kali lipat daripada di jual di jakarta.
Walaupun dari sudut pandang politik Soekarno berhasil menjaga indonesia tetap bersatu, “ Demokrasi terpimpin “ dan prinsip-prinsip yang menyertai Ekonomi terpimpin membawa indonesia pada salah satu krisis ekonomi paling dramatis dalam sejarah.
Perekonomian Pada Masa Orde Lama
Pada tanggal 17 Agustus 1945
setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Setlah itu, khususnya pada
tahun-tahun pertama setelah merdeka, keadaan ekonomi Indonesia sangat buruk;
ekonomi nasional boleh dikatakan mengalami stagflasi. Defisit saldo neraca
pembayaran dan defisit keuangan pemerintah sangat besar; kegiatan produksi di
sektor pertanian dan sektor industri manufaktur praktis terhenti; tingkat
inflasi sangat tinggi, hingga mencapai lebih dari 500% menjelang akhir periode
orde lama. Semua ini disebabkan oleh berbagai macam faktor, yang penting
diantaranya adalah pendudukan Jepang, Perang Dunia II , Perang Revolusi, dan
Manajemen Ekonomi Makro yang sangat jelek.
Dapat dikatakan bahwa Indoneisa pernah
mengalami sistem politik yang sangat demokratis, yakni pada periode 1949-1956.
Akan tetapi, sejarah Indonesia menunjukan bahwa sistem politik demokrasi
tersebut ternyata menyebabkan kehancuran politik dan perekonomian nasional.
Akibat terlalu banyaknya partai politik yang ada dan semuanya ingin berkuasa,
sering terjadi konflik antarpartai politik. Konflik politik tersebut berkepanjangan
sehingga tidak memberi sedikit pun kesempatan untuk membentuk suatu kabinet
yang solid yang dapat bertahan hingga pemilihan umum berikutnya. Pada masa
politik demokrasi itu, tercatat dalam sejarah bahwa rata-rata umur setiap
kabinet hanya sekitar 2 tahun saja. Selama periode 1950-an struktur ekonomi
Indonesia masih peninggalan zaman kolonialisasi.
Sektor formal/modern, seperti
pertambangan, distribusi, transportasi, bank, dan pertanian komersi, yang
memiliki konstribusi lebis besar daripada sektor informal/tradisional terhadap
output nasional atau produk domestik bruto (PDB) didominasi oleh
perusahaan-perusahaan asing tersebut relatif lebih padat kapital dibanding
kegiatan-kegiatan ekonomi yang didominasi oleh pengusaha pribumi dan beralokasi
di kota-kota besar , seperti Jakarta dan Surabaya.
Keadaan ekonomi di Indonesia, terutama
setelah dilakukan nasionalisasi terhadap semua perusahaan asing di tanah air,
termasuk perusahaa-perusahaan milik Belanda, menjadi lebih buruk dibanding
keadaan ekonomi pada masa penjajahan Belanda, ditambah lagi dengan peningkatan
laju inflasi yang sangat tinggi pada dekade 1950-an. Pada masa pemerintahaan
Belanda Indonesia memiliki laju pertumbuhan ekonomi yang cukup baik dengan
tingkat inflasi yang sangat rendah dan stabil, terutama karena tingkat upah
buruh dan komponen-komponen lainnya dari biaya produksi yang juga rendah,
tingkat efeisensi yang tinggi di sektor pertanian, dan nilai mata uang yang
stabil.
Selain kondisi politik di dalam negeri
yang tidak mendukung, buruknya perekonomian Indonesia pada masa pemerintahan
orde lama juga disebabkan oleh keterbatasan akan faktor-faktor produksi,
seperti orang-orang dengan tingkat kewirausahaan dan kapabilitas manajemen yang
tinggi, tenaga kerja dengan pendidikan/keterampilan yang tinggi, dana
(khususnya untuk membangun infrastruktur yang sangat dibutuhkan oleh industri),
teknologi, dan kemampuan pemerintah sendiri untuk menyusun rencana dan strategi
pembangunan yang baik. Menurut pengamatan Higgins, sejak kabinet pertama dibentuk
setelah merdeka, pemerintah Indonesia memberikan prioritas pertama terhadap
stabilisasi dan pertumbuhan ekonomi, pembangunan industri, unfikasi, dan
rekonstruksi. Akan tetapi, akibat keterbatasan akan faktor-faktor tersebut
diatas dan dipersulit lagi oleh kekacauan politik nasional pada masa itu,
akhirnya pembangunan atau bahkan rekonstruksi ekonomi Indonesia setelah perang
tidak pernah terlaksana dengan baik.
Perekonomian
Indonesia Pada Masa Orde Baru
Inflasi pada tahun 1966 mencapai
650%,dan defisit APBN lebih besar daripada seluruh jumlah penerimaannya. Neraca
pembayaran dengan luar negeri mengalami defisit yang besar, nilai tukar rupiah
tidak stabil” (Gilarso, 1986:221) merupakan gambaran singkat betapa hancurnya
perekonomian kala itu yang harus dibangun lagi oleh masa orde baru atau juga
bisa dikatakan sebagi titik balik.
Awal masa orde baru menerima beban
berat dari buruknya perekonomian orde lama. Tahun 1966-1968 merupakan tahun
untuk rehabilitasi ekonomi. Pemerintah orde baru berusaha keras untuk
menurunkan inflasi dan menstabilkan harga. Dengan dikendalikannya inflasi,
stabilitas politik tercapai ayng berpengaruh terhadap bantuan luar negeri yang
mulai terjamin dengan adanya IGGI. Maka sejak tahun 1969, Indonesia dapat
memulai membentuk rancangan pembangunan yang disebut Rencana Pembangunan Lima
Tahun (REPELITA). Berikut penjelasan singkat tentang beberapa REPELITA:
REPELITA I (1967-1974)
Mulai berlaku sejak tanggal 1april
1969. Tujuan yang ingin dicapai adalah pertumbuhan ekonomi 5% per tahun dengan
sasaran yang diutamakan adalah cukup pangan, cukup sandang, perbaikan prasarana
terutama untuk menunjang pertanian. Tentunya akan diikuti oleh adanya perluasan
lapangan kerja dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
REPALITA II (1974-1979)
Target pertumbuhan ekonomi adalah
sebesar 7,5% per tahun. Prioritas utamanya adalah sektor pertanian yang
merupakan dasar untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri dan merupakan
dasar tumbuhnya industri yang mengolah bahan mentah menjadi bahan baku.
REPALITA III (1979-1984)
Prioritas tetaap pada pembangunan
ekonomi yang dititikberatkan pada sector pertanian menuju swasembada pangan,
serta peningkatan industri yang mengolah bahan baku menjadi bahan jadi.
REPALITA IV (1984-1989)
Adalah peningkatan dari REPELITA
III. Peningkatan usaha-usaha untuk memperbaiki kesejahteraan rakyat, mendorong
pembagian pendapatan yang lebih adil dan merata, memperluas kesempatan kerja.
Priorotasnya untuk melanjutkan usaha memantapkan swasembada pangan dan
meningkatkan industri yang dapat menghasilkan mesin-mesin industri sendiri. Jika
ditarik kesimpulan maka pembangunan ekonomi menurut REPELITA adalah mengacu
pada sektor pertanian menuju swasembada pangan yang diikuti pertumbuhan
industri bertahap.
Perekonomian
Pada Masa Era Reformasi
Pada masa krisis ekonomi, ditandai dengan tumbangnya
pemerintahan Orde Baru kemudian disusul dengan era Reformasi yang dimulai oleh
pemerintahan Presiden Habibie. Pada masa ini tidak hanya hal ketatanegaraan
yang mengalami perubahan, namun juga kebijakan ekonomi. Sehingga apa yang telah
stabil dijalankan selama 32 tahun, terpaksa mengalami perubahan guna
menyesuaikan dengan keadaan.
1.
Masa
Kepemimpinan B.J. Habibie
Pada
awal pemerintahan reformasi, masyarakat umum dan kalangan pengusaha dan
investor, termasuk investor asing, menaruh pengharapan besar terhadap kemampuan
dan kesungguhan pemerintah untuk membangkitkan kembali perekonomian nasional
dan menuntaskan semua permasalahan yang ada di dalam negeri warisan rezim orde
baru, seperti korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN); supremasi hukum; hak asasi
manusia (HAM); Tragedi Trisakti dan Semanggi I dan II; peranan ABRI di dalam
politik; masalah disintegrasi; dan lainnya.
Masa
pemerintahan Habibie ditandai dengan dimulainya kerjasama dengan Dana Moneter
Internasional untuk membantu dalam proses pemulihan ekonomi. Selain itu,
Habibie juga melonggarkan pengawasan terhadap media massa dan kebebasan
berekspresi.
Di bidang ekonomi, ia berhasil
memotong nilai tukar rupiah terhadap dollar masih berkisar antara Rp 10.000 –
Rp 15.000. Namun pada akhir pemerintahannya, terutama setelah
pertanggungjawabannya ditolak MPR, nilai tukar rupiah meroket naik pada level
Rp 6500 per dolar AS nilai yang tidak akan pernah dicapai lagi di era
pemerintahan selanjutnya. Selain itu, ia juga memulai menerapkan independensi
Bank Indonesia agar lebih fokus mengurusi perekonomian. Untuk menyelesaikan
krisis moneter dan perbaikan ekonomi Indonesia, BJ Habibie melakukan
langkah-langkah sebagai berikut :
- Melakukan restrukturisasi dan rekapitulasi perbankan melalui pembentukan BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional) dan unit Pengelola Aset Negara
- Melikuidasi beberapa bank yang bermasalah
- Menaikkan nilai tukar rupiah terhadap dolar hingga di bawah Rp. 10.000,00
- Membentuk lembaga pemantau dan penyelesaian masalah utang luar negeri
- Mengimplementasikan reformasi ekonomi yang disyaratkan IMF
- Mengesahkan UU No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan yang Tidak Sehat
- Mengesahkan UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Pemerintahan presiden B.J. Habibie
yang mengawali masa reformasi belum melakukan manuver-manuver yang cukup tajam
dalam bidang ekonomi. Kebijakan-kebijakannya diutamakan untuk mengendalikan
stabilitas politik.
2. Masa Kepemimpinan K.H. Abdurrahman
Wahid (Gus Dur)
Dalam hal ekonomi, dibandingkan
tahun sebelumnya, pada tahun 1999 kondisi perekonomian Indonesia mulai
menunjukkan adanya perbaikan. Laju pertumbuhan PDB mulai positif walaupun tidak
jauh dari 0% dan pada tahun 2000 proses pemulihan perekonomian Indonesia jauh
lebih baik lagi dengan laju pertumbuhan hampir mencapai 5%. Selain pertumbuhan
PDB, laju inflasi dan tingkat suku bunga (SBI) juga rendah yang mencerminkan
bahwa kondisi moneter di dalam negeri sudah mulai stabil.
Akan tetapi, ketenangan masyarakat
setelah terpilihnya Presiden Indonesia keempat tidak berlangsung lama. Presiden
mulai menunjukkan sikap dan mengeluarkan ucapan-ucapan kontroversial yang
membingungkan pelaku-pelaku bisnis. Presiden cenderung bersikap diktator dan
praktek KKN di lingkungannya semakin intensif, bukannya semakin berkurang yang
merupakan salah satu tujuan dari gerakan reformasi. Ini berarti bahwa walaupun
namanya pemerintahan reformasi, tetapi tetap tidak berbeda denga rezim orde
baru. Sikap presiden tersebut juga menimbulkan perseteruan dengan Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) yang klimaksnya adalah dikelurakannya peringatan resmi
kepada Presiden lewat Memorandum I dan II. Dengan dikeluarkannya Memorandum II,
Presiden terancam akan diturunkan dari jabatannya jika usulan percepatan Sidang
Istomewa MPR jadi dilaksanakan pada bulan Agustus 2001.
Selama pemerintahan reformasi,
praktis tidak ada satu pun masalah di dalam negeri yang dapat terselesaikan
dengan baik. Berbagai kerusuhan sosial yang bernuansa disintegrasi dan sara terus
berlanjut, misalnya pemberontakan Aceh, konflik Maluku, dan pertikaian etnis di
Kalimantan Tengah. Belum lagi demonstrasi buruh semakin gencar yang
mencerminkan semakin tidak puasnya mereka terhadap kondisi perekonomian di
dalam negeri, juga pertikaian elite politik semakin besar.
Selain itu, hubungan pemerintah
Indonesia dibawah pimpinan Abdurrahman Wahid dengan IMF juga tidak baik,
terutama karena masalah amandemen UU No. 23 tahun 1999 mengenai Bank Indonesia;
penerapan otonomi daerah, terutama menyangkut kebebasan daerah untuk pinjam
uang dari luar negeri; dan revisi APBN 2001 yang terus tertunda pelaksanaannya.
Tidak tuntasnya revisi tersebut mengakibatkan IMF menunda pencairan bantuannya
kepada pemerintah Indonesia, padahal roda perekonomian nasional saat ini sangat
tergantung pada bantuan IMF. Selain itu, Indonesia terancam dinyatakan bangkrut
oleh Paris Club (negara-negara donor) karena sudah kelihatan jelas bahwa
Indonesia dengan kondisi perekonomiannya yang semakin buruk dan defisit
keuangan pemerintah yang terus membengkak, tidak mungkin mampu membayar kembali
utangnya yang sebagian besar akan jatuh tempo tahun 2002 mendatang. Bahkan,
Bank Dunia juga sempat mengancam akan menghentikan pinjaman baru jika
kesepakatan IMF dengan pemerintah Indonesia macet.
Ketidakstabilan politik dan social
yang tidak semakin surut selama pemerintahan Abdurrahman Wahid menaikkan
tingkat country risk Indonesia. Ditambah lagi dengan memburuknya
hubungan antara pemerintah Indonesia dan IMF. Hal ini membuat pelaku-pelaku
bisnis, termasuk investor asing, menjadi enggan melakukan kegiatan bisnis atau
menanamkan modalnya di Indonesia. Akibatnya, kondisi perekonomian nasional pada
masa pemerintahan reformasi cenderung lebih buruk daripada saat pemerintahan
transisi. Bahkan, lembaga pemeringkat internasional Moody’s Investor Service
mengkonfirmasikan bertambah buruknya country risk Indonesia. Meskipun
beberapa indikator ekonomi makro mengalami perbaikan, namun karena kekhawatiran
kondisi politik dan sosial, lembaga rating lainnya (seperti Standard
& Poors) menurunkan prospek jangka panjang Indonesia dari stabil ke
negatif.
Kalau kondisi seperti ini terus
berlangsung, tidak mustahil tahun 2002 ekonomi Indonesia akan mengalami
pertumbuhan jauh lebih kecil dari tahun sebelumnya, bahkan bisa kembali
negatif. Pemerintah tidak menunjukkan keinginan yang sungguh-sungguh (political
will) untuk menyelesaikan krisis ekonomi hingga tuntas dengan prinsip once
and for all. Pemerintah cenderung menyederhanakan krisis ekonomi dewasa ini
dengan menganggap persoalannya hanya terbatas pada agenda masalah amandemen UU
Bank Indonesia, desentralisasi fiskal, restrukturisasi utang, dan
divestasi BCA dan Bank Niaga. Munculnya berbagai kebijakan pemerintah yang
controversial dan inkonsistens, termasuk pengenaan bea masuk impor mobil mewah
untuk kegiatan KTT G-15 yang hanya 5% (nominalnya 75%) dan pembebasan pajak
atas pinjaman luar negeri dan hibah, menunjukkan tidak adanya sense of
crisis terhadap kondisi riil perekonomian negara saat ini.
Fenomena makin rumitnya persoalan
ekonomi ditunjukkan oleh beberapa indikator ekonomi. Pergerakan Indeks Harga
Saham Gabungan (IHSG) antara 30 Maret 2000 hingga 8 Maret 2001 menunjukkan growth
trend yang negatif. Dalam perkataan lain, selama periode tersebut
IHSG merosot hingga lebih dari 300 poin yang disebabkan oleh lebih besarnya
kegiatan penjualan daripada kegiatan pembelian dalam perdagangan saham di dalam
negeri. Hal ini mencerminkan semakin tidak percayanya pelaku bisnis dan
masyarakat terhadap prospek perekonomian Indonesia, paling tidak untuk periode
jangka pendek.
III.
KESIMPULAN
Perekonomian Indonesia sejak
pemerintahan masa orde lama hingga masa reformasi masih mengalami beberapa
gejolak. Perekonomian Indonesia masih jatuh bangun. Hal itu dapat dilihat dari
kemiskinan yang masih ada, pengangguran tingkat tinggi dikarenakan jumlah
lapangan pekerjaan yang tersedia tidak sebanding dengan jumlah angkatan kerja,
maraknya para koruptor karena hukum di negeri ini kurang tegas (Indonesia
termasuk dalam 5 terbesar Negara terkorup didunia), masih terjadi kesenjangan
ekonomi antara penduduk yang miskin dan yang kaya, nilai rupiah masih sekitar
Rp 9.000-Rp 10.000, dan masih memiliki hutang ke luar negeri.
IV.
DAFTAR PUSTAKA
http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2012/04/perekonomian-indonesia-di-era-reformasi/